Sebuah Krikitik Jurnalistik seni rupa
Posted on 25 Nopember 2011 by http://sulastrisyarief.blogspot.com
Oleh : Sulastri Syarif
Sebuah patung megah setinggi 15 meter akan menyambut Anda setiap kali berkunjung ke Harapan Indah, sebuah kawasan kota baru di wilayah Bekasi. Patung itu terletak persis di depan kawasan pemukiman mewah bermoto “Kota Harapan Indah, Kehidupan Lengkap Sudah” ini sebagai semacam tugu selamat datang. Posisinya berada di tengah persimpangan tiga jalan. Karya pematung Nyoman Nuarta ini berjudul Tiga Mojang. Dalam bahasa sunda, mojang berarti gadis atau perempuan.
Patung itu terdiri dari tiga perempuan yang mengenakan kemben dan kain panjang. Posisi ketiganya membentuk sebuah segitiga. Wajah mereka masing-masing menghadap ke tiga arah jalan yang berbeda sehingga tiap orang yang datang dari arah manapun akan disambut dengan wajah patung yang tampak ayu.
“Patung ini menyambut kita dengan wajah. Bukan bagian samping atau belakangnya. Ini adalah salah satu norma kesopanan yang diajarkan dalam tradisi Sunda,” ujar Nyoman Nuarta.
Membuat Tiga Mojang bukanlah perkara gampang. Prosesnya memakan waktu lebih dari satu tahun dan melibatkan 50 pematung. Bahannya terbuat dari perunggu dan ditempa dengan teknik molding (proses membentuk perunggu dengan menggunakan rangka kaku yang disebut mold). Nyoman sengaja memilih teknik ini agar patung tak terlalu berat. “Kalau dicor, akan sangat mahal dan berat sekali. Patungnya tidak mungkin bisa berdiri,” ujarnya.
Patung-patung Nyoman selalu punya ciri unik. Salah satunya adalah tekstur kasar pada permukaan tubuh patung. Tekstur seperti ini dapat dimunculkan dengan menggunakan teknik welding. Dengan begitu patung akan terihat halus dan bercahaya pada jarak tertentu. “Sama seperti kulit Anda, kalau dari dekat sekali kan terlihat kasar, tapi jika dilihat dari jauh mulus sekali,” kata seniman yang kini bermukim di Bandung itu.
Sebagai sebuah kawasan baru, pihak pengembang tentu menginginkan sebuah ikon, sebuah penanda ruang di wilayahnya, dan patung adalah salah satu elemen yang dapat dijadikan sebagai penanda itu. Pihak pengembang akhirnya memutuskan untuk menyerahkan hal ini pada Nyoman. “Karya dia bagus dan kami menganggap dialah expert-nya dalam masalah ini,” ujar Freddianto, Manager operasional PT. Hasanah Damai Putra, Kota Harapan Indah, Bekasi, sebagai perusahan pengembang wilayah tersebut.
Nyoman Nuarta sebelumnya memang banyak membuat patung di ruang publik.  Di antaranya adalah patung di Plaza Indonesia, Patung Arjuna Wijaya di depan Medan Merdeka, Patung Soekarno Hatta di Badan Intelejen Negara dan Monumen Angkatan Laut bernama Jalesveva Jayamahe setinggi 30.6 meter di Surabaya.
Selama kurang lebih dua tahun, Tiga Mojang telah menjadi ikon kota Harapan Indah. “Waktu patung itu diletakan di sana, reaksi penghuni sangat bagus. Dipakai tempat syuting sinetron, film, bahkan beberapa siswa minta ijin untuk mengambil foto dan video untuk tugas sekolahnya,” kisah Freddianto.
Namun sayang, jika Anda melewati kawasan itu sekarang, Tiga Mojang sudah tak tampak lagi. Patung itu telah roboh pada 19 Juni 2010 lalu setelah sebulan sebelumnya, Tiga Mojang ramai diprotes warga karena dinilai sebagai upaya kristenisasi dan (atau) pornografi.
Protes itu mencapai puncaknya pada Mei 2010 lalu. Hari itu patung diduduki oleh massa yang menamakan diri sebagai Front Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB) yang terdiri dari Forum Umat Islam (FUI), Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan beberapa ormas Islam lain di daerah Bekasi. Mereka mencorat-coret patung dengan cat putih. Beberapa menuliskan kaligrafi nama “Allah”. Yang lain menulis coretan “Save Islam” dengan cat putih. Sebagai klimaksnya mereka memanjat tubuh patung dan menutup wajah patung dengan kain putih.
FAPB menduga bahwa pembangunan patung Tiga Mojang merupakan bagian dari upaya kristenisasi di kota Bekasi. Kesimpulan ini mereka dapat berdasarkan dua pertimbangan. Pertama, ada yang menilai bahwa patung perempuan Tiga Mojang menyerupai sosok Bunda Maria. Kedua, ada juga anggapan bahwa patung itu merupakan simbol trinitas agama tertentu karena menampilkan tiga wujud manusia. Menurut beberapa sumber, mereka juga sempat menggunakan alasan pornografi. Bentuk patung Tiga Mojang dinilai agak seronok melalui penggunaan pakaian ketat yang memperlihatkan bentuk tubuh wanita.
Desakan itu terus menguat beberapa minggu setelahnya hingga surat perintah pembongkaran Tiga Mojang tiba. Isi surat itu kurang lebih memerintahkan pihak pengembang perumahan untuk menurunkan patung itu selambat-lambatnya tanggal 18 Juni 2010. “Saat itu kami mencoba melakukan proses dialog. Kami bahkan sudah merendahkan harga diri dan menawarkan solusi untuk merenovasi patung itu. Tapi tetap tak digubris. Semua dilakukan tanpa  perundingan apapun,” ujar Benny Gunawan, salah satu pendiri PT. Hasanah Damai Putra. Atas inisiatif sendiri, patung itu dibongkar oleh Harapan Indah pada Jumat 18 Juni, pukul 24.00 WIB. “Kami mohon kepada Pemda biar kami saja yang menurunkan karena kami mendengar desas-desus kalau mereka mau membakar dan merusak patungnya,” tambah Benny.
Tak ada maksud untuk menyinggung agama apapun di patung Tiga Mojang, tegas Nyoman Nuarta. Ia tak menyangka jika patung itu baru diributkan sekarang setelah berdiri dua tahun lamanya. Pesan dari patung Tiga Mojang pun jelas: menampilkan keindahan budaya Sunda.
Seniman yang kerap dipanggil Pak Nuarte ini mengaku sedih. “Sama dengan Anda. Gak usah patung. Ibaratnya kalau punya rumah kedua yang dirobohkan begitu saja, perasaanmu bagaimana?,” tanya pematung yang saat ini masih tercatat sebagai anggota The International Sculpture Center di Washington, Amerika Serikat. “Buat saya, ini bukan semata-mata produk bisnis. Seniman berpikir lebih jauh dari itu. Ada kedekatan emosional dan penghayatan pada setiap karya yang diciptakan”.
Siapakah Publik?
Saat konflik ini menguap, banyak pertanyaan mengenai definisi ruang publik, public space, civic space atau apapun namanya. Siapa FAPB? Bisakah mereka memprotes sebuah seni di sebuah kawasan yang bahkan tak mereka huni? Di Indonesia, secara tragis, dalam kasus ini, ternyata mereka bisa melakukannya.
Kata “publik” sendiri berarti “sebuah kelompok yang tidak merupakan kesatuan”. Interaksi antar kelompok yang terfragmentasi ini pun dilakukan secara tidak langsung melalui pembicaraan antar individu yang berantai, desas-desus, melalui medium surat kabar, radio dan sebagainya. Tingkah laku dan karakter sebuah “publik” berasal dari tingkah laku dan karakter individu di dalamnya (Soerjono Seokanto:1985).
Menurut Sosiolog Thamrin Tamagola, ruang publik didefinisikan sebagai tempat di mana perjumpaan antar warga negara terjadi di luar ruang privat atau domestik. Warga negara di sini pun tidak memandang identitas primordial seperti suku, ras juga agama. “Kalau sebuah patung ditempatkan pada ruang terbuka di mana orang bisa datang menikmati dan berinteraksi, itu sudah disebut sebagai benda publik. Semua orang bisa melakukan protes terhadapnya. Bahkan warga Papua sekalipun misalnya, bisa saja memprotes patung di sebuah taman Jakarta,” ujarnya.
Dalam kasus Tiga Mojang, hal itu dimengerti betul oleh Freddianto sebagai pengurus harian kota baru Harapan Indah. Ia menyadari bahwa kawasannya adalah ruang publik. Tetapi ia sangat menyayangkan mengapa banyak orang yang tidak mengerti bagaimana cara memprotes dan berdialog. “Kami tahu ini merupakan ruang publik, tapi bagaimana cara menyampaikan protes, itu yang jadi masalah. Tak ada proses dialog apapun. Pemerintah pun melakukan melakukan pembiaran,” sesal Freddianto.
Sebagai seorang seniman, Nyoman juga menyadari tangung jawab yang dibebankan padanya. Dalam merancang sebuah patung ia terlebih dahulu memperhitungkan entitas, karakter wilayah, masalah sosial  dan fungsi patung tersebut dalam sebuah kota. “Tidak bisa bebas juga,” katanya.
Menurut Nyoman ada tiga fungsi seni tiga dimensi di ruang publik. Pertama, memiliki nilai sejarah yang bersifat monumental. Kedua, membawa nilai artistik suatu kawasan untuk dasar keindahan. Dan yang terakhir ia berfungsi sebagai sebuah penanda (ikon) suatu tempat.
“Tiga mojang dibuat dengan memperhitungkan hal-hal itu. Maka saya bingung kalau mereka gak terima dengan patung ini, kan artinya sama dengan menolak budaya mereka sendiri?,” tanya pematung kelahiran Tabanan, 14 November 1951 lalu itu.

Apresiasi
Ketika pemerintah menutup mata, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapa yang harus berteriak? Bagaimana hal ini seharusnya ditangani? Apakah dewan kesenian pada suatu daerah bisa berbicara?
Untuk hal ini, Firman Ichsan, ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), boleh angkat bicara. Menurutnya, peristiwa ini merupakan sebuah bukti bahwa apresiasi seni masyarakat masih rendah. Itulah Dan hal tersebut masih diperjuangkan oleh DKJ hingga kini.
Namun bagi Firman, menyelesaikan konflik Tiga Mojang (ataupun sekadar mewadahi proses dialog) merupakan hal yang tak bisa dilakukan oleh DKJ. Selain lokasi patung Tiga Mojang tidak berada di wilayah kerja DKJ, koneksi ke daerah itu pun terbatas.
“Saya pikir ini adalah sebuah kemunduran persepsi masyarakat tentang kebebasan berekspresi. Ini juga bukti bahwa prilaku manusia indonesia belum berbudaya,” tegas Dolorosa Sinaga, pematung perempuan sekaligus pengajar di FSRD IKJ. Baginya pendidikan punya peran penting dalam menumbuhkan apresiasi seni. Hanya, kesulitannya terletak pada minimnya akses untuk memberikan pendidikan seni di pesantren, sebagai suatu lembaga pendidikan yang menjadikan agama sebagai pijakan utama. Di sana pendidikan berpijak pada dogma agama yang tidak memungkinkan terjadinya proses yang dialogis. Keterbukaan pun tidak tumbuh di sana. “Mereka besar dengan sebuah kebenaran tunggal. Yang terjadi dalam kasus ini adalah sekelompok orang yang memaksakan kebenarannya di atas keberagaman”. Dolorosa kemudian membawa peristiwa ini dalam konteks yang lebih luas. Ia menyebutnya sebagai kemandekan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Solusi yang ditawarkannya sederhana, yaitu dengan membangun sistem pendidikan yang berpijak pada keterbukaan pikiran dan penghargaan atas keberagaman dalam masyarakat. “Tapi dogma menjadi kendala. Seandainya saja Gus Dur masih ada, ia pasti bicara. Kalau sekarang siapa yang bisa?”.
Konflik Lama
Konflik agama bukanlah hal baru di negeri ini. Tragedi patung Tiga Mojang pun tidak terlepas dari tegangan-tegangan yang telah ada sebelumnya. Terdapat anggapan yang menyebutkan bahwa awal mula polemik ini berasal dari blog palsu yang mengatasnamakan SMA Bellarminus yang isinya menghina kitab suci Al Quran dan Nabi Muhammad. Anggapan lain mengatakan bahwa hal ini berasal dari kecemasan ormas Islam di Bekasi atas dibentuknya Forum Komunikasi Kerukunan Umat Beragama beberapa saat setelah diterbitkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006.
Pembangunan patung ini berada dalam suasana sosial yang sedang tidak kondusif. Mayoritas masyarakat yang mengatasnamakan Islam di daerah itu menolak pendirian tempat ibadah serta pengalihalihan fungsi rumah tinggal menjadi tempat kebaktian dan gereja (Koran Tempo, 2 Agustus 2010). “Peristiwanya sudah terjadi sekitar tiga atau empat tahun lalu dan ada sekitar lima gereja yang dibangun. Jadi ada reaksi dari segelintir orang yang menganggap Bekasi akan dikristenkan. Makanya patung ini dianggap sebagai upaya kristenisasi,” ujar Freddianto.
Jadi apakah Tiga Mojang hanya sekadar tumbal dari sebuah konflik usang? Baik Freddianto dan Nyoman mengatakan bahwa itu bisa saja terjadi. Saat ini Nyoman Nuarta tak mengharap banyak. “Harapan untuk mengembalikan patung itu ke sana lagi sih sudah tidak ada. Tapi menurut saya ini bukan masalah saya saja. Kalau dibiarkan, ini bisa merembet kemana-mana dan dimana-mana”.
Catatan :
Menurut korantempo.com, patung Tiga Mojang akan segera dipindahkan ke kawasan Ring Road Yogyakarta. Karya seni ini dipasang di hotel bintang lima yang masih menjadi milik kelompok PT Hasana Damai Putra, pengembang Perumahan Kota Harapan Indah.\

0 komentar:

Posting Komentar